Kripto bisa jadi alat pembayaran

Kripto dari Aset Investasi Menjadi Alat Pembayaran Sah

Surabaya, Indonesia (2025) — Dunia aset kripto tampaknya memasuki fase baru di Indonesia. Setelah lama hanya dianggap sebagai instrumen investasi atau komoditas digital, kini muncul wacana agar kripto diakui sebagai alat pembayaran sah sebagai bagian dari revisi atas kerangka hukum keuangan, khususnya dalam revisi UU P2SK. Namun, perjalanan transformasi ini tidaklah sederhana: banyak tantangan regulasi, teknis, serta risiko yang harus dilalui agar aman dan stabil.

Latar Belakang & Peralihan Regulasi

1. Status Kripto Hari Ini: Investasi / Komoditas Digital

Sejauh ini di Indonesia, aset kripto bukanlah alat pembayaran resmi. Bank Indonesia menegaskan bahwa kripto tidak diakui sebagai alat pembayaran sah karena bertentangan dengan UU Mata Uang yang menetapkan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Dalam praktik regulasi, kripto diklasifikasikan sebagai aset komoditas digital yang diperdagangkan di bursa.

2. UU P2SK & Peralihan Pengaturan Keuangan Digital

Pada 2023, UU No. 4 Tahun 2023 (UU P2SK) memberi mandat pengaturan lebih luas terhadap sektor keuangan digital. Pengawasan aset kripto yang semula di bawah Bappebti dialihkan ke OJK per 10 Januari 2025 melalui PP No. 49 Tahun 2024. OJK kemudian menerbitkan POJK No. 27 Tahun 2024 dan SEOJK 20/2024 sebagai dasar hukum pengaturan teknis.

3. Usulan Revisi UU P2SK: Kripto sebagai Alat Pembayaran

Dalam proses revisi UU P2SK, ada usulan dari asosiasi industri agar kripto dapat difungsikan tidak hanya sebagai investasi tetapi juga sebagai alat pembayaran. Usulan ini muncul karena pergeseran paradigma dan meningkatnya adopsi aset digital. Jika kripto diakui sebagai alat pembayaran, regulasi pajak, sistem perbankan, dan infrastruktur digital harus disesuaikan.

Risiko & Hambatan Transformasi Kripto ke Alat Pembayaran

• Konflik Hukum & Regulasi: UU Mata Uang menetapkan Rupiah sebagai satu-satunya alat pembayaran. Pengakuan kripto bisa bertabrakan dengan kewenangan BI.

• Volatilitas Tinggi: Harga kripto sangat fluktuatif, berisiko bagi pedagang dan konsumen.

• Risiko Pencucian Uang: Kripto rentan disalahgunakan untuk TPPU dan pendanaan terorisme.

• Biaya & Infrastruktur Teknis: Butuh integrasi dompet digital, gateway pembayaran, dan konversi instan ke Rupiah.

• Adopsi & Kepercayaan Publik: Kurangnya literasi dan kepercayaan masyarakat menjadi hambatan adopsi.

• Regulasi Internasional: Perbedaan regulasi lintas negara menyulitkan pengawasan pajak dan transaksi lintas batas.

Titik Pivot & Peluang

• Pemerintah melalui PMK No. 50 Tahun 2025 menghapus PPN atas transaksi kripto dan menetapkan tarif PPh baru.

• Stablecoin berpotensi menjadi jembatan agar volatilitas terkendali.

• Kolaborasi antar lembaga (BI, OJK, Kemenkeu, PPATK) penting untuk sinkronisasi regulasi.

• Fase transisi dapat dilakukan dengan pilot project di ekosistem tertutup sebelum diterapkan luas.

Kesimpulan & Prospek

Transformasi kripto dari investasi ke alat pembayaran adalah langkah ambisius yang berpotensi membuka babak baru ekosistem keuangan digital Indonesia. Namun keberhasilan tergantung pada sinkronisasi regulasi, kesiapan infrastruktur, dan literasi publik. Jika dirancang hati-hati, kripto bisa menjadi medium transaksi yang legal dan efisien.

Dasar Hukum & Referensi

1. UU No. 4 Tahun 2023 (UU P2SK) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
2. PP No. 49 Tahun 2024 tentang peralihan pengaturan aset keuangan digital ke OJK & BI.
3. POJK No. 27 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Perdagangan Aset Keuangan Digital.
4. SEOJK No. 20/2024 tentang teknis pelaksanaan perdagangan aset kripto.
5. PMK No. 50 Tahun 2025 tentang pajak kripto (penghapusan PPN & pengaturan PPh).
6. UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang (Rupiah sebagai alat pembayaran sah).
7. Sumber berita: CNBC Indonesia, Kontan, Coinvestasi, OJK.go.id, Hukumonline, Mobee Academy.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *