Surabaya, Indonesia – Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tengah bersiap menghadapi babak baru dalam sistem perpajakan digital.
Mulai tahun 2027, seluruh transaksi digital termasuk QRIS, e-wallet, dan aset kripto akan mulai masuk dalam radar pajak internasional melalui penerapan Common Reporting Standard (CRS).
Kebijakan ini bukan hanya langkah administratif, melainkan merupakan bagian dari transformasi besar dalam sistem perpajakan nasional untuk membangun ekosistem pajak yang transparan, terintegrasi, dan sesuai dengan standar global. Dengan CRS, Indonesia menegaskan komitmennya untuk menjadi bagian dari sistem pelaporan pajak global yang terbuka dan adil.
Sistem Perpajakan di 2027
Pada tahun 2027, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan secara resmi menerapkan Common Reporting Standard (CRS) sebuah standar global pertukaran data keuangan antarnegara yang dikembangkan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
Melalui CRS, informasi keuangan nasabah dan wajib pajak di lembaga keuangan akan dipertukarkan secara otomatis antarotoritas pajak di berbagai negara. Artinya, sistem pajak Indonesia akan terhubung dengan jaringan pelaporan internasional, memungkinkan pemerintah untuk memantau dan menelusuri transaksi lintas negara, termasuk aktivitas keuangan yang sebelumnya sulit dilacak.
Hal ini mencakup transaksi berbasis fintech, aset digital seperti kripto, hingga transaksi melalui QRIS dan e-wallet, yang selama ini menjadi bagian dari ekosistem ekonomi digital dalam negeri.
Apa Itu Common Reporting Standard (CRS)
Common Reporting Standard (CRS) adalah kebijakan internasional yang dirancang untuk meningkatkan transparansi keuangan global. Dengan CRS, otoritas pajak di suatu negara dapat bertukar data keuangan otomatis dengan negara lain.
Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk:
- Mencegah penghindaran pajak lintas negara,
- Menekan aliran dana ilegal seperti pencucian uang dan penyelundupan modal, serta
- Mendorong kepatuhan pajak global yang adil dan transparan.
Bagi Indonesia, penerapan CRS berarti akses terhadap informasi keuangan warga negara dan entitas Indonesia di luar negeri, termasuk kepemilikan rekening bank, investasi, aset digital, dan bentuk kekayaan lainnya.
Di dalam negeri, CRS akan meliputi cakupan transaksi digital utama, antara lain:
- Transaksi mata uang kripto dan aset digital lainnya.
- Pembayaran melalui QRIS dan dompet digital (e-wallet).
- Digital currency yang berada di bawah pengawasan Bank Indonesia.
Dengan demikian, seluruh aktivitas keuangan digital akan masuk dalam sistem pelaporan yang lebih komprehensif.
Tujuan Penerapan CRS
Penerapan CRS bukan sekadar memperketat pengawasan, tetapi merupakan bagian dari strategi nasional dalam reformasi sistem perpajakan.
Ada empat tujuan utama yang ingin dicapai:
- Mewujudkan sistem perpajakan yang transparan, adil, dan efisien.
CRS membantu menciptakan ekosistem pajak yang terbuka, di mana setiap transaksi dapat dipertanggungjawabkan secara data-driven. - Mencegah penghindaran pajak dan aliran dana ilegal.
Dengan keterbukaan data, praktik penyembunyian aset di luar negeri atau pencucian uang akan semakin sulit dilakukan. - Meningkatkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan.
Transparansi mendorong akuntabilitas, sehingga masyarakat melihat bahwa sistem pajak bekerja dengan jujur dan adil. - Memperkuat kerja sama global.
CRS menjadi jembatan bagi Indonesia untuk berkolaborasi dengan otoritas pajak negara lain dalam mewujudkan sistem keuangan yang sehat dan terintegrasi.
Dampaknya Bagi Wajib Pajak
Penerapan CRS akan membawa perubahan besar terhadap cara pelaporan dan pengawasan pajak di Indonesia.
Sistem perpajakan akan lebih terbuka, terotomatisasi, dan berbasis data.
Dampak langsungnya dapat dirasakan oleh beberapa pihak berikut:
- Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP)
Harus memastikan seluruh data transaksi pengguna tercatat, tersimpan dengan aman, dan dapat dilaporkan dengan benar kepada otoritas pajak. - Merchant & Penyedia Layanan Digital
Perlu memahami bahwa transaksi penjualan dan pembayaran digital kini bisa menjadi objek pelaporan pajak otomatis. - Konsumen atau Individu Aktif Digital
Aktivitas seperti membeli kripto, menggunakan e-wallet, atau transaksi lintas platform dapat tercatat sebagai data keuangan terlapor yang berpotensi digunakan dalam pemeriksaan kepatuhan pajak.
Dengan sistem ini, transparansi keuangan menjadi keharusan, bukan pilihan.
Bagaimana Pelaku Bisnis Dapat Mempersiapkan Diri?
Memasuki era pajak digital menuntut kesiapan dari sisi sistem, pemahaman, dan tata kelola data.
Berikut langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan pelaku bisnis, termasuk UMKM dan individu:
- Melakukan audit internal atas seluruh transaksi digital.
Pastikan setiap transaksi tercatat dengan benar dan sesuai dengan laporan pajak. - Mengintegrasikan sistem keuangan dengan teknologi pelaporan pajak digital.
Gunakan sistem berbasis data untuk memudahkan pelaporan yang akurat dan sesuai regulasi. - Konsultasi dengan konsultan pajak profesional.
Memahami dampak CRS dan merancang strategi kepatuhan sejak dini akan meminimalkan risiko di masa mendatang. - Menyusun perencanaan pajak berbasis digital. Rencanakan strategi pengelolaan pajak yang efisien namun tetap sesuai dengan ketentuan global dan nasional.
Menuju Sistem Pajak Digital yang Terbuka dan Terpercaya
Transformasi menuju pajak digital adalah keniscayaan di era ekonomi modern.
Penerapan CRS pada tahun 2027 akan menjadi tonggak penting bagi Indonesia dalam menciptakan sistem perpajakan yang lebih transparan, terhubung, dan kredibel di mata dunia.
Dalam sistem baru ini, kejujuran dan kepatuhan bukan hanya kewajiban moral, tetapi juga kunci utama menjaga reputasi bisnis dan kepercayaan publik.
Bagi pelaku usaha dan profesional, langkah terbaik adalah bersiap dari sekarang karena era transparansi pajak global sedang menuju pintunya.
Leave a Reply